Wednesday, December 10, 2025
HomeBeritaANALISIS - Apakah jaringan milisi kolaborator Israel di Gaza mulai terurai?

ANALISIS – Apakah jaringan milisi kolaborator Israel di Gaza mulai terurai?

Belum genap sehari setelah Israel mengumumkan tewasnya Yasser Abu Syabab—pemimpin kelompok kriminal yang dibentuk dan diarahkan langsung oleh aparat keamanan Israel di Jalur Gaza—retakan internal mulai tampak di tubuh jaringan tersebut.

Seiring itu, keluarga dan klan besar Palestina secara terbuka menarik dukungan dari anggota mereka yang terlibat dalam kelompok-kelompok bersenjata yang dituding melakukan kejahatan terhadap warga Gaza atas instruksi militer Israel.

Dalam situasi yang terus berkembang ini, aparat keamanan perlawanan di Gaza membuka pintu pertobatan bagi para kolaborator yang terlibat dalam milisi-milisi yang memperoleh dukungan Israel.

Langkah tersebut diumumkan setelah aparat keamanan melancarkan serangkaian operasi terhadap beberapa anggotanya dalam beberapa pekan terakhir.

Sejumlah indikasi memperlihatkan bahwa langkah ini dapat mempercepat keruntuhan jaringan kelompok yang beroperasi di bawah perlindungan tentara Israel di area garis kuning—wilayah yang tetap diduduki meski terdapat kesepakatan gencatan senjata.

Perburuan kolaborator

Seorang pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan Keamanan Nasional Gaza menyatakan bahwa Israel membentuk kelompok-kelompok kriminal ini untuk menanamkan kekacauan di tengah masyarakat Palestina.

Namun, menurut dia, rencana tersebut tidak pernah mencapai hasil yang diharapkan Israel.

Dalam wawancara dengan Al Jazeera Net, pejabat itu menegaskan bahwa kegagalan tersebut terutama dipicu oleh penolakan masyarakat Gaza.

Kelompok-kelompok itu tidak pernah memperoleh dukungan sosial, justru menjadi pihak yang dijauhi dan dicela publik.

“Sikap tegas keluarga, klan, dan suku yang mencabut perlindungan dari siapa pun yang bekerja sama dengan pendudukan, menjadi benteng utama yang menjaga ketahanan sosial kami,” ujarnya.

Tewasnya Yasser Abu Syabab—yang disebut sebagai salah satu tokoh paling kejam—dinilai pejabat itu sebagai “akhir yang wajar dan tak terelakkan.”

Ia menambahkan bahwa faktor-faktor yang membuat kelompok-kelompok tersebut gagal semakin menguat dan akan menggagalkan semua skema “jahat” yang dirancang Israel lewat kelompok itu.

“Kelompok-kelompok ini bukan saja menempatkan diri berhadapan dengan aparat keamanan, tetapi juga dengan seluruh masyarakat Gaza,” katanya.

Ia menambahkan bahwa aparat keamanan terus bekerja menjaga stabilitas dan mencegah upaya penyebaran kekacauan sebagaimana diinginkan Israel.

Pejabat itu mengungkapkan bahwa dua tahun perang telah menguras kekuatan kelompok-kelompok tersebut.

Operasi keamanan yang dijalankan—dan memakan ratusan korban jiwa di pihak aparat Gaza—perlahan melemahkan struktur mereka hingga memasuki fase perpecahan.

Menurut dia, sejumlah anggota kelompok itu sudah menyerahkan diri dan kini menjalani proses hukum. Ia mengimbau anggota lainnya untuk segera mengikuti langkah tersebut.

“Jalan yang sedang mereka tempuh sudah jelas ujungnya. Mereka harus kembali ke pelukan rakyat sebelum terlambat, dan berhenti mengkhianati bangsa serta nilai-nilai Palestina,” katanya.

Aparat keamanan, menurut dia, menangani setiap kasus dengan memperhatikan aspek hukum.

“Kami melakukan semuanya secara bertanggung jawab,” ujarnya.

Ia juga mengonfirmasi upaya sebelumnya untuk menargetkan seorang kolaborator bernama Hossam Al-Astal, namun operasi itu dibatalkan pada detik-detik akhir karena alasan teknis di lapangan.

Peran klan dan struktur sosial

Kelompok-kelompok kolaborator itu umumnya beroperasi di daerah timur Gaza. Jaringan Abu Syabab—yang kini dipimpin oleh Ghassan Al-Dahini—berbasis di timur Rafah.

Adapun kelompok Hossam Al-Astal dan Shouqi Abu Nosseira bermarkas di timur Khan Younis.

Sementara itu, kelompok Rami Helles beroperasi di timur Kota Gaza, dan kelompok Ashraf Al-Mansi berada di utara.

Ketua Tajammu’ al-Qaba’il wal-A’shair al-Filasthiniyah (Perkumpulan Nasional Klan dan Suku Palestina), Alaauddin Al-Aklouk, menjelaskan bahwa Israel memanfaatkan sejumlah individu dengan rekam jejak kriminal untuk membentuk jaringan tersebut.

Israel, katanya, mencoba menempelkan identitas tribal atau kekerabatan palsu kepada mereka demi mendapatkan legitimasi sosial.

“Upaya itu runtuh dalam waktu singkat, karena keluarga dan klan mereka segera berlepas tangan. Mereka menolak keras tindakan para pelaku yang pada akhirnya menjelma menjadi bagian dari mesin kejahatan Israel—merampas bantuan, menjarah makanan, dan memfasilitasi kelaparan warga,” kata Al-Aklouk kepada Al Jazeera Net.

Ia menambahkan bahwa klan-klan Palestina telah bekerja sama dengan keluarga para pemuda yang terlibat, menawarkan jalan pulang bagi mereka yang ingin kembali.

Upaya ini berhasil mengembalikan sejumlah orang yang menyesali keterlibatan mereka, termasuk beberapa keluarga yang lebih memilih dipaksa mengungsi dan dibombardir daripada menerima “aib kolaborasi”.

Menurut Al-Aklouk, sekitar 70 orang telah kembali ke masyarakat setelah menyerahkan diri melalui keluarga mereka.

Mereka kemudian mengungkapkan berbagai tindakan keji yang dilakukan kelompok-kelompok itu bekerja sama dengan tentara Israel.

“Ini pekerjaan kotor, dan tidak mungkin mereka menjadi pemimpin setelah perang. Tempat mereka hanyalah di halaman gelap sejarah,” tegasnya.

Ia juga menyebut adanya mekanisme yang kini berjalan untuk menyelesaikan sejumlah berkas keamanan bagi para pemuda yang menyerahkan diri dalam masa pertobatan 10 hari yang dibuka otoritas setempat.

Retakan yang mulai terlihat

Direktur Center for Political Studies, Rami Khreis, menilai bahwa tewasnya Abu Syabab memang mengguncang jaringan tersebut, namun belum tentu menandai awal keruntuhan total.

Menurut dia, kelompok-kelompok itu pada dasarnya rapuh karena tidak memiliki ideologi, struktur, atau tujuan bersama.

Mereka hanya terikat kepentingan pribadi—entah keamanan, uang, atau dominasi wilayah.

Banyak anggotanya pun memiliki rekam jejak kriminal atau sudah lama berada dalam radar aparat keamanan.

Khreis menyebutkan sejumlah faktor yang membuat kelompok ini sangat rentan terpecah:

  • Tidak adanya visi atau identitas organisasi yang jelas. Mereka bukan organisasi ideologis, melainkan kumpulan individu yang mengutamakan keselamatan dan kepentingan sendiri.
  • Persaingan memperebutkan dana dan perlindungan dari Israel. Ketergantungan pada dukungan Israel menciptakan friksi yang terus-menerus di antara kelompok.
  • Struktur kepemimpinan yang lemah dan terfragmentasi. Mereka bertumpu pada figur tertentu; ketika figur itu hilang, muncul kekosongan dan perebutan pengaruh yang mengoyak jaringan.
  • Tekanan dari kelompok perlawanan dan aparat keamanan Gaza. Ini membuat anggota semakin takut, gelisah, dan rentan membelot atau membocorkan informasi.
  • Rendahnya tingkat kepercayaan internal. Kecurigaan, ketidaksetiaan, dan saling tuding adalah ciri yang melekat pada kelompok-kelompok semacam ini.
  • Penolakan tegas dari klan dan keluarga. Ketiadaan “payung sosial” membuat mereka terisolasi dan merasa terancam secara moral maupun sosial.
  • Konsensus masyarakat Gaza yang menolak kekacauan. Pada titik ini, bertahan dalam kelompok tersebut sama saja dengan melakukan bunuh diri sosial.

Dengan latar sosial yang semakin menekan, dukungan Israel yang mulai goyah, serta pukulan keamanan yang terus berlanjut, masa depan jaringan ini tampak kian suram.

Meski belum dapat dipastikan apakah mereka akan benar-benar bubar, tanda-tanda keretakan dan ketidakstabilan sudah lebih dari nyata.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler