Friday, December 19, 2025
HomeBeritaCinta menang atas perang: 200 pasangan menikah di reruntuhan Gaza

Cinta menang atas perang: 200 pasangan menikah di reruntuhan Gaza

Di atas puing-puing rumah yang hancur dan di tengah duka yang belum pulih, bunga-bunga kebahagiaan tetap tumbuh di Gaza.

Lebih dari 200 pasangan pengantin merayakan pernikahan mereka dalam sebuah pesta pernikahan massal bertajuk “Kami Mencintai Kehidupan Meski Dihantam Genosida”.

Sebuah perayaan yang digelar dengan dukungan Ribat Foundation dari Turki.

Diiringi lantunan zaghareed—teriakan sukacita khas Palestina—serta alunan nyanyian rakyat tradisional, para pengantin dan ribuan warga yang hadir sejenak menyingkirkan kesedihan mereka.

Selama beberapa jam, ingatan akan perang yang selama dua tahun terakhir mencabik kehidupan mereka terasa menjauh, meski jejaknya masih nyata: kematian, kehancuran, dan kehilangan yang belum tergantikan.

“Tak ada suara yang lebih lantang daripada kegembiraan dan kehendak untuk hidup.”

Kalimat itu seolah menjelma nyata di sebuah lapangan di Kota Zawaida, wilayah Gaza bagian tengah.

Hal itu pada Kamis lalu menjadi saksi perhelatan pernikahan massal terbesar sejak agresi Israel berhenti pada Oktober tahun lalu.

Selama sekitar tiga jam, kebahagiaan hadir tanpa jeda. Para peserta pernikahan—para penyintas perang—berusaha merebut kembali secuil kehidupan yang direnggut dari mereka.

Perang telah meninggalkan luka mendalam: lebih dari 70.000 warga Palestina tewas, sekitar 170.000 lainnya terluka, serta kehancuran masif pada rumah tinggal, fasilitas umum, dan infrastruktur.

Di sebuah lorong menuju panggung utama yang dihiasi bendera Palestina dan Turki, anak-anak berbaris di kedua sisi, bertepuk tangan sambil menaburkan bunga.

Para mempelai pria melangkah anggun dengan setelan jas hitam, sementara para mempelai perempuan mengenakan gaun putih yang dihiasi sulaman tradisional Palestina.

Simbol identitas yang tetap dijaga di tengah upaya pemusnahan.

Raut kebahagiaan terpancar di wajah ribuan keluarga dan kerabat yang hadir. Bagi mereka, pernikahan massal ini menjadi jendela harapan.

Sebuah kesempatan untuk kembali merasakan sukacita setelah masa panjang yang dipenuhi darah dan air mata.

Namun, kebahagiaan itu bercampur dengan kesedihan yang tak terucap. Banyak dari pengantin dan tamu undangan adalah korban selamat dari serangan-serangan mematikan pasukan Israel yang merenggut nyawa anggota keluarga mereka, menghancurkan rumah, dan memutus masa depan yang pernah mereka bayangkan.

Pernikahan sebagai pesan kehidupan

Salah satunya adalah Muhammad Al-Shafii, seorang pengantin pria yang kini hidup sebagai pengungsi setelah kehilangan seluruh keluarganya.

Kepada Al Jazeera Net, ia mengatakan bahwa partisipasinya dalam pernikahan massal ini adalah bentuk perlawanan paling sederhana namun paling bermakna: pesan tentang kehidupan dan tekad untuk tetap bertahan.

Nada serupa disampaikan Ahmad Shlalil.

“Meski darah dan kehancuran ada di mana-mana, kami tetap bersikeras memegang setiap kesempatan untuk merasakan kegembiraan dan kebahagiaan,” ujarnya.

Dengan mata berbinar, Muhammad Abu Taita menggambarkan pernikahannya sebagai “kebahagiaan yang istimewa”.

Ia menilai inisiatif-inisiatif amal semacam ini sangat membantu generasi muda Gaza untuk berani menikah, terutama di tengah keterpurukan ekonomi akibat perang yang belum benar-benar usai.

Memanfaatkan situasi yang relatif lebih tenang setelah penandatanganan kesepakatan gencatan senjata pada 10 Oktober lalu, warga Gaza berupaya menata kembali kehidupan mereka. Minat untuk menikah pun meningkat.

Sekitar 2 pekan sebelumnya, 54 pasangan juga mengikuti pernikahan massal serupa di kawasan Al-Mawasi, sebelah barat Khan Younis, yang diselenggarakan oleh lembaga kemanusiaan Al-Faris Al-Shahim 3.

Harapan yang bertahan di tengah luka

Koordinator media acara tersebut, Alaa Abdul Fattah, mengatakan kepada Al Jazeera Net bahwa selama perang, pendudukan Israel berusaha “mengeksekusi dan menghancurkan seluruh tanda-tanda kehidupan di Gaza”.

“Hari ini, kami datang untuk menghidupkan kembali harapan akan kehidupan dan masa depan,” ujarnya.

Pernikahan massal yang menyatukan 203 pasangan ini, kata dia, mengirimkan pesan yang jelas: warga Palestina di Gaza layak untuk hidup.

“Ini adalah pernyataan bahwa kami adalah bangsa yang mencintai kehidupan, sejauh apa pun kami mampu meraihnya,” tambahnya.

Menurut Abdul Fattah, inisiatif-inisiatif seperti ini membawa kebahagiaan yang menyebar dari satu rumah ke rumah lain, dari satu jalan ke jalan berikutnya—mengusir, meski sejenak, bayang-bayang duka yang selama dua tahun menyelimuti Gaza dengan darah dan kehancuran.

ARTIKEL TERKAIT
- Advertisment -spot_img

Terpopuler