Sejumlah surat kabar internasional menyoroti perkembangan terbaru terkait kesepakatan gencatan senjata di Jalur Gaza, perluasan permukiman Israel di Tepi Barat, serta meningkatnya ketegangan di dalam penjara-penjara Israel.
Media-media global juga membahas dampak pencabutan sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap masa depan Suriah, serta berubahnya konflik di Sudan menjadi konflik bernuansa kekeluargaan.
Harian The Wall Street Journal melaporkan, mengutip sejumlah pejabat AS, bahwa Presiden AS Donald Trump disebut merasa frustrasi atas pembunuhan tokoh militer Hamas, Raed Saad, yang dilakukan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada Washington.
Menurut sumber-sumber tersebut, Gedung Putih telah menyampaikan kepada kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa langkah tersebut dinilai menghambat upaya mencapai kesepakatan gencatan senjata dan rekonstruksi Jalur Gaza.
Namun, kantor Netanyahu menepis kritik itu dengan menyatakan bahwa Tel Aviv terpaksa melakukan serangan tersebut karena Hamas dinilai tidak menunjukkan sikap kooperatif terkait pelucutan senjata.
Sementara itu, The New York Times dalam laporannya mengulas percepatan pembangunan permukiman Israel di Tepi Barat dalam beberapa waktu terakhir.
Selain itu juga dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari warga Palestina.
Menurut surat kabar tersebut, ekspansi permukiman telah membuat para pemukim Israel menguasai wilayah daratan yang luas selama dua tahun terakhir.
Dampaknya, banyak warga Palestina terusir dari tanah mereka dan menghadapi kesulitan serius untuk menemukan tempat tinggal alternatif.
Peringatan ledakan ketegangan di penjara
Dari Israel, The Times of Israel melaporkan peringatan keras dari Komisaris Lembaga Pemasyarakatan Israel, Kobi Yaakobi, yang menyatakan bahwa kondisi penjara-penjara Israel kini berada di ambang ledakan.
Yaakobi memperingatkan bahwa hilangnya harapan para tahanan Palestina untuk dibebaskan melalui kesepakatan pertukaran tahanan dapat memicu aksi kekerasan di dalam penjara.
Ia menyebut, para tahanan keamanan kini diliputi keputusasaan setelah tidak lagi dimasukkan dalam kesepakatan pertukaran tahanan terbaru.
Pernyataan tersebut disampaikan Yaakobi dalam sidang di Knesset, parlemen Israel, ketika ia menjelaskan perubahan psikologis signifikan di kalangan tahanan Palestina dari harapan menjadi keputusasaan.
Di Amerika Serikat, majalah Foreign Policy memuat artikel opini bersama yang ditulis oleh anggota Senat AS Jeanne Shaheen dan anggota DPR AS Joe Wilson.
Keduanya mendesak Kongres AS untuk mencabut seluruh sanksi Amerika terhadap Suriah.
Dalam artikel tersebut, mereka menyatakan bahwa situasi di Damaskus telah berubah dan Washington perlu menyesuaikan kebijakannya dengan realitas baru tersebut.
Menurut mereka, langkah-langkah sementara yang selama ini diambil terhadap Suriah “baru merupakan awal”.
Artikel itu menekankan bahwa Suriah sangat membutuhkan proses rekonstruksi.
Melanjutkan sanksi, tulis mereka, sama artinya dengan menghukum para korban rezim Bashar al-Assad dan menghalangi upaya mereka untuk pulih dan membangun kembali negara mereka.
Kedua penulis juga memperingatkan bahwa kegagalan mencabut sanksi secara menyeluruh akan menghapus capaian yang diraih dengan susah payah serta memperdalam penderitaan rakyat Suriah.
Konflik Sudan bernuansa keluarga
Adapun harian Prancis Libération menyoroti perubahan karakter konflik di Sudan yang dinilai telah mengambil bentuk “konflik keluarga”, menyusul dominasi keluarga Dagalo.
Hal itu merujuk pada Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) dan 2 saudaranya, Abdel Rahim dan Al-Qoni.
Menurut artikel tersebut, Mohamed Hamdan Dagalo dipandang sebagai pemimpin tak terbantahkan sekaligus wajah publik dari Pasukan Dukungan Cepat (Rapid Support Forces/RSF).
Sementara itu, sang kakak, Jenderal Abdel Rahim Dagalo, disebut sebagai arsitek utama operasi militer kelompok tersebut.
Artikel itu juga mencatat bahwa Abdel Rahim Dagalo menjadi orang pertama yang memasuki Kota El Fasher, ibu kota wilayah Darfur, hanya beberapa jam setelah kota tersebut jatuh.
Peristiwa itu kemudian berujung pada pengenaan sanksi terhadapnya atas dugaan keterlibatan dalam pembantaian brutal yang terjadi di kota tersebut.
Sementara itu, adik bungsu mereka, Al-Qoni Dagalo, digambarkan sebagai sosok yang lebih tertutup dan memiliki latar pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan dua saudaranya.

